Pantai Losari sebagai ikon Kota Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel) memiliki daya tarik tersendiri yang membuat kawasan wisata ini cukup populer. Keindahan alam dan panorama Selat Makassar menjadi salah satu magnet bagi para wisatawan.

Dalam catatan sejarah, Pantai Losari ini dulunya memiliki hamparan pasir putih yang membentang sepanjang pesisir pantai. Sangat indah tentunya pada masa itu.

Sayangnya hamparan pasir putih itu akhirnya tertimbun akibat sedimentasi material dari Gunung Bawakaraeng yang terbawa melalui sungai Jeneberang. Kondisi tersebut terjadi akibat ulah tangan-tangan manusia yang membuat hutan di hulu sungai rusak.

Meskipun pasir putihnya telah tiada, Pantai Losari tak kehilangan daya tariknya. Setelah ditanggul pada tahun 1926, perlahan pantai ini menjadi pusat kegiatan sosial-ekonomi warga lokal.

Dosen Ilmu Sejarah Universitas Hasanuddin Dias Pradadimara menyebut, di tahun 1950-an Pantai Losari pernah difungsikan sebagai pasar ikan. Pantai ini menjadi tempat pelelangan ikan selama 30 tahun.

Selanjutnya di tahun 1980-an, Pantai Losari mulai ramai dimanfaatkan para pedagang kaki lima berjualan jajanan khas Makassar tepat di sepanjang bibir pantai. Warung tersebut berjejer dan diberi nomor urut hingga mencapai nomor 267 di tahun 1997.

Banyaknya warung-warung yang berjejer membuat pengunjung semakin ramai berdatangan. Namun, saat itu pada pedagang tidak menyediakan tempat duduk khusus. Para pengunjung lalu memanfaatkan tanggul sepanjang pantai untuk menikmati jajanan yang telah dibeli.

Penggunaan tanggul sebagai tempat makan inilah yang membuat Pantai Losari mendapat predikat “Rumah Makan Terpanjang di Dunia” atau “Meja Terpanjang di Dunia”. Namun, Dias menyebut kalau predikat ini hanya klaim warga saja.

“Bukan predikat, lebih tepatnya itu omongan orang-orang karena panjang, jadi dibilangi terpanjang di dunia,” tutur Dias.

Predikat itu tidak bertahan lama. Dalam buku “Berbekal Seribu Akal Pemerintahan dengan Logika” menyebut, predikat “Rumah Makan Terpanjang di Dunia” terhapus usai pemerintah merelokasi pedagang kaki lima yang berjejer di sepanjang bibir Pantai Losari ke Jalan Metro Tanjung Bunga.

Pemerintah merelokasi para pedagang kala itu karena akan dilakukan revitalisasi Pantai Losari. Revitasliasi ini dilakukan pertama kali pada masa kepemimpinan Wali Kota Amiruddin Maula (1999-2004)

Usai direvitalisasi, Pantai Losari kini hadir dengan wajah yang lebih modern. Keberadaan anjungan, patung-patung, gapura, hingga Masjid Terapung Amirul Mukminin membuat kawasan ini selalu ramai dikunjungi wisatawan.

Kendati pantai ini dipuja-puji dengan konsepnya yang modern dan sejumlah fasilitas yang ditawarkan, kondisi air di pantai ini justru sangat memprihatinkan. Tampak warna airnya menghitam dan menimbulkan aroma kurang sedap.

Dosen Ekotoksikologi Perairan FIKP Universitas Hasanuddin Khusnul Yaqin menilai, kondisi Pantai Losari tersebut sangat memprihatinkan. Dia bahkan menyebut Pantai Losari ini sudah seperti toilet orang Makasasar, semua limbah rumah sakit, hotel hingga rumah warga bermuara ke pantai.

“Air hitam dan bau jelas (dampak dari pembuangan limbah),” ujarnya.

“Karena Losari ini seperti toiletnya orang Makassar, dibuang di situ semua (limbah),” imbuhnya.

Menurut Khusnul Yaqin, kondisi ini dapat terjadi akibat bagian pesisir Pantai Losari yang tertutup sehingga air tidak dapat mengalir dengan bebas. Semua limbah menumpuk dan stagnan di sekitar pantai tersebut.

“Sebenarnya sudah lama terjadi seperti itu. Tapi dulu sebelum ada reklamasi, limbah ini mengalir ke obsor, mengalir ke laut bebas karena adanya proses pasang surut, terus arus-arus lain yang terbentuk di sekitaran Pantai Losari itu,” kata Khusnul Yaqin.

“Tapi sekarang ditutup itu, tertutup sisi itu kan. Jadi air ini tidak bisa ke mana-mana. Nah ketika tidak bisa kemana-mana, nanti terjadi dekomposisi bahan organik secara anaerobik,” jelasnya.

Tak hanya itu, pengunjung kini tak bisa lagi menikmati keindahan hamparan laut yang bersih serta keindahan matahari terbenam dari Pantai Losari. Keindahan itu kini terhalang oleh bangunan-bangunan di kawasan CPI, pulau reklamasi buatan di seberang sana. Pengunjung kini hanya bisa menikmati sisa-sisa warna jingga di langit sore Pantai Losari
Terlepas dari itu semua, menurut Shinta hal tersebut adalah harga yang harus dibayar dengan apa yang bisa dinikmati hari ini. Meski Pantai Losari tak lagi seperti dulu, pengunjung masih bisa menikmati keindahan dalam bentuk lain dengan segala fasilitasnya.

“Pasti berbeda yang dulu dengan yang sekarang. Cuman kan sekarang juga kita sudah menikmati. Ya mungkin kita harus memilih gitu loh,” sambungnya.